Wednesday, June 5, 2019

Cerpen Inikah Nasibku?

Aku duduk termenung meratapi serangkaian nasibku kini, semua seolah pudar termakan waktu. Pada penghujung Ramadhan, tepatnya Ramadhan ke 27 pada bulan yang suci namun, semua seolah seperti biasanya. Berbalik dari keadaan awal,  saat ibu masih merangkul hangat dengan elusan cinta dan kaih sayang yang terpancar ikhlas darinya. Tahun ini merupakan ujian terberat bagi kami dan keluarga bagaimana tidak, berpuasa menahan lapar dahaga serta berada di bagian termulia yaitu di bulan nan suci tanpa kehadiran beliau, hingga kami juga akan merasakan Hari Raya Idul Fitri ini tanpa belaian manjanya.

Namaku Rika, umurku 10 tahun dan aku adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Awalnya berjalan solid, serta sewajar-wajar keluarga yang bahagia. Tahun 2018 silam, berkisar  tepat setelah hari raya Idul Fitri, masa sewa kontrakan berakhir, dan meranjak harus mencari perteduhan baru. Alhamdulillah, nasib baik kami jumpai, kami mendapati kontrakan murah yang jaraknya tak jauh dari tempat awal. 

Disana aku tinggal bersama ayah, ibu, kakak laki-laki pertamaku yang bernama Moko dan kakak laki-laki kedua yang bernama Darma. Bersamaan setelah Hari Raya Idul Fitri, Kakak perempuanku telah menamatkan SMA pada tahun itu dan ia memutuskan untuk mencari kerja ke luar kota dan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, ia pergi untuk bekerja dan terpaksa meninggalkan keluarga.

Di moment yang suci tahun lalu, ibu dan ayah memanjakanku dan ketiga kakaku dengan baju hingga perkakas baru lainnya untuk menyambut lebaran setelah berpuasa 30 hari penuh. Semua terasa sangat berharga dan sangat kami hargai. Setelah Idul Fitri berakhir kami memulai pengalaman baru di kontrakan baru.

“Nah, inilah tempat tinggal baru kita, ya walaupun tidak semegah dan seindah dulu, tapi setidaknya telah cukup untuk kita berteduh, ya kan Pa !”

“Ya ma, Rika gimana senang gak dengan rumah bau ini?” tanya ayah padaku.
“Senang Yah, sangat senang malah, ya kan kak Moko dan Kak Darma?” tanyaku pada kedua kakaku.
“Iya” Sahut kedua kakakku.

Kami sangat senang menempati rumh baru terlebih tetangga kami, yaitu Om Bimo sangat ramah terhadap kami dan keluarga, beliau dan istri senantiasa datang dan selalu mengantarkan lauk pauk, kueh dan jajanan lainnya ke rumah. Om Bimo dan istrinya yang bernama Suvi memiliki anak perempuan yang bernama Salva, Salva satu sekolah denganku dan ia setahun lebih muda dariku. Akan tetapi ia sangat marah padaku mungkin dia juga iri padaku karena Om Bimo dan Bunda Suvi sering kerumah kami. 

Terkadang Om Bimo juga memberikan uang untuk jajan padaku dan Kak Darma yang berusia 12 tahun. Hal itulah yang membuat Salva marah padaku namun aku hanya terdiam ketika ia marah.
Tepat pukul 05.30 WIB aku kembali terbangun setelah salat subuh.“Bu, ayah pamit ke sawah ya! Jaga anak-anak” ayah meminta izin pada ibu sebelum berangkat bekerja di sawah.

“Iya, Yah, hati-hati di jalan!” jawab ibu.
Ayahku melakukan rutinitas wajibnya di saat ba’da subuh dan ia kemudian berangkat dengan menunggangi motor butut harta berlian keluarga kami.
“Ah,sebaiknya aku tidur lagi, mumpung masih setengah enam” pikirku.

Jarum jam beranjak pukul 07.30 WIB tanpa sadar, aku memang sengaja tidur lagi setelah subuh dan bangun agak terlambat, karena hari ini merupakan hari libur bagi budak ingusan siswa SD sebayaku. Kami libur dikarenakan pada Senin ini Kakak kelas 6 melaksanakan Ujian Nasional. Aku menghampiri ibu dan menghidupkan TV di ruang depan.

“Kak Moko dan Kak Darma mana Bu?” tanyaku pada ibu.

“Seperti biasanya Ka, Kakakmu kan sekolah” jelas ibu
“Oh mereka tetap sekolah ya bu?”
“Ya, seperti itu.”

Seperti biasanya merka telah beranjak ke sekolah. Kak Moko saat ini dusuk di bangku SMA kelas 2, ia merupakan pribadi yang cerdas di akademik maupun non akademik, baru-baru ini ia menyabet juara pertama di lomba debat Bahasa Inggris tingkat Provinsi. Dan kakak keduaku yang bernama Darma duduk di kelas 1 SMP.

“Yah, mama berangkat ya” sahut Bunda Suvi kepada suaminya Om Bimo.
“YA” jawaban singkat dan berintonasi tidak ikhlas kian membuat Bunda Suvi menjadi kesal.
“Ma, Salva ikut!” pinta Salva pada ibunya.
 “Kamu disini saja dengan ayah” Jawaban Bunda Suvi seolah tidak mengizinkan Salva pergi dengannya.
“Gak mau” rengek Salva
“Yaudahlah kamu bawa aja terus Salvanya” jawab Om Bimo kesal.
“Yok sini naik, kebiasaan udah besar masih suka ngekorin” Bunda Suvi tampak kesal kepada Salva dan Om Bimo.

Nampak jelas Om Bimo dan Bunda Suvi pagi itu dalam keadaan bersitegang dan tidak akrab seperti biasanya.Bunda Suvi tampak marah ketika mninggalkan Om Bimo, ia pamit untuk bekerja di sebuah Rumah Sakit yang berjarak kurang lebih 7 km dari rumahnya. Beberapa saat seetelah istrinya pergi, Om Bimo mendatangi ibuku, mereka tampak bercerita dan tampak akur serta bersahabat. Aku tak tau persis apa yang mereka bicarakan, karena ibu kemudian mengajak Om Bimo berbincang di rumah tengah yang sering kami operasikan sebagai ruang keluarga.

Setelah hari itu, kejadian yang sama menjadi rutinitas ibu dan Om Bimo di hari-hari berikutnya, bercerita dan penuh canda tawa. Bahkan kini ibu tak lagi membiarkan aku memegang androidnya dan ia tak melepaskannya kepada siapapun. Begitulah rutinitas itu berjalan hingga pada suatu waktu saat ayah pulang ke rumah dan melihat mereka berduaan di ruang keluarga.

“Apa-apaan kamu ini! PULAAANG” suruh ayah keras dan penuh emosi
“Gak bg gak saya Cuma......” jawab Om Bimo tanpa ada kepastian
“Ah bohong kamu, kamu pasti mau ngerebut istri saya!” Tegas Ayah pada Om Bimo.
“Yah, bukan begitu tadi mas Bimo kesini ada perlu” sahut ibu di tengah pertikaian.
“Kamu juga kok ngebela dia, bohong kamu. Pulang kamu Bimo PULANG” teriak ayah keras dan penuh emosi pada Om Bimo.

Om Bimo langsung beranjak pulang dan betapa kagetnya ia ketika istrinya mengetahui kejadian itu. Setelah kejadian itu, Om Bimo pergi dari rumah dan ia tak menampakkan lagi batang hidungnya, tidak seorangpun tau akan keberadaanya begitu juga istrinya yang tak ia pedulikan lagi. 

Namun, mungkin hanya ibu yang tau persis keberadaannya, karena ibu masih sering contack dengan Om Bimo. Ibu selalu minta pada ayah agar di pertemukan dengan Om Bimo. Ibu juga merana setelah kepergian Om Bimo, hingga pada akhirnya Ibuku stress dan selalu menampar serta menggigit ayah ketika permintaanya tak terpenuhi. 

Kami telah memberitahu kepada semua sanak saudara termasuk Kak Indah tentang keadaan Ibu sekarang, namun Kak Indah tidak bisa pulang karena pekerjaan dan keterbatasan biaya. Kak Moko sangat prihatin atas keadaan ibu sekarang, bahkan ia berjanji untuk membunuh Om Bimo apabila pulang kembali.

Keadaan ibu tak kunjung membaik dan harus di rawat inapkan di Rumah Sakit terdekat tempat Bunda Suvi bekerja. Ayahku selalu berkonsultasi dengan beliau pasal kondisi ibu dan agar pengobatan ibu intensif dan semakin membaik. Ayah berpesan pada Bunda Suvi untuk menjaga ibu, karena saat itu tak ada siapa yang harus di percaya untuk menjaga ibu, ayah pulang untuk menjemputku dan kedua kakaku masih di sekolah. Beberapa jam setelah itu ayah dan aku kembali ke Rumah Sakit tempat ibu di rawat, namun saat itu ibu telah tiada dan Bunda Suvi menangis pada Ayahku karena kepergian ibu.

Setelah kepergian ibu Kak Moko menjadi sangat depresi dan menuduh Bunda Suvi atas kejadian itu semua. Namun, nyatanya Bunda Suvi menjelaskan kepada ayahku bahwa bukan dia yang membunuh ibu melainkan ajal yang telah menjemput, dan pastinya hanya takdirlah yang tu persisi akan semua itu. Kini Kak Moko menjadi tak terelakkan, ia mulai berjudi mengkonsumsi obat terlarang dan tak mau lagi sekolah hingga ia harus direhabilitasi dan di beri bimbingan di instansi yang bersangkutan.

Hampir empat bulan berlalu, kini ayah memutuskan untuk menikahi Bunda Suvi. Pernikahan itu dilakukan secara tertutup dan tanpa perhelatan pesta, ya maklum saja. Tepat setelah beberapa hari umur pernikahan mereka, ketika ayah pergi aku dan Kak Darma di tindas oleh Bunda Suvi dan anaknya Salva.

Ketika ayahku pergi mereka selalu menuduh ibu dan kami sebagai penyebab dari kepergian Om Bimo. Kami di suruh di layaknya pembantu, kami juga disuruh mencuci pakaian mereka, bahkan Salva selalu menyuruhku menyiapkan makanannya, jika kami tak mau melakukuan hal tersebut maka kami akan dihukum dan akan berhenti ketika ada tanda-tanda akan ayah pulang.

Namun, apalah daya badab kecil kami tak mampu menghalau situasi tersebut. Hingga kini waktu berada di titik akhir ramadhan kami tidak mengharapkan apapun, bahkan ayah sendiri tidak membelikan apapun untuk kami, ia lebih memilih Salva dari kami. Keadaan tersebut selalu terlontarkan kepada Kak Indah, namun apalah daya Kak Indah hanya bisa mendengar celotehan kami melalui hp dan tak bisa bertatap muka langsung di tempat yang sama.

Tak kunjung membaik hanya seperti ini sekarang, berjalan seiringan di bawah penindasan, hanya tabah dan sabar yang harus kami eratkan.

0 komentar

Post a Comment