Tuesday, March 29, 2022

Nyatanya Pulangku Tak Lagi Seindah Dulu

Sabtu 26 Maret 2022, Karena alasan perkuliahan yang hampir sepenuhnya dilakukan secara during membuat diri sementara waktu angkat kaki dari Ibu Kota Provinsi terujung negeri ini. Tidak ada kepastian kapan perkuliahan dilaksanakan full time di kampus.

Selain alasan kuliah, pulang karena rindu juga tepat menggambarkan keadaan dinamis ini. Bagaimana tidak dinamis? Mengapa harus pulang setelah pergi hanya seminggu. Tentunya jawaban logisnya ada pada diri ini.

Selain rindu pulang ku kali ini juga disebab akibatkan oleh keluarga besar yang hangat, berkumpul sebelum menjalani puasa Ramadhan dan melaksanakan suatu tradisi yang dinamakan “Meugang”. 

Meugang sendiri merupakan suatu tradisi masyarakat Aceh dalam  menyambut Bulan Suci Ramadhan, hari meugang dilaksanakan pada dua hari sebelum puasa Ramadhan dilaksanakan. 

Pada pelaksanaan meugang seluruh keluarga berkumpul bersama sembari menikmati kuliner Aceh yang didominasi dengan daging pada hari itu. Namun nyatanya Meugangku juga sama seperti pulangku, tidak lagi indah seindah dulu.

Sabtu (19.00 WIB), Cuaca dingin dengan hujan deras dan berangin menghujam keras Kota Banda Aceh. Sama seperti rasa dihati, malam itu setelah melaksanakan kewajiban wajib, tersentak dada ini terasa sesak akan kenangan dan luka lama yang masih membekas jelas. 

Tidak terasa air mata juga berlinang bersamaan dengan derasnya hujan, sekiranya menangis dalam hujan adalah solusi terbaik agar jiwa tetap tenang dan tabah akan keadaan.

Tepat pada 20.45 WIB aku berangkat pulang untuk melepas rindu. Di dalam mobil aku menjumpai seorang ibu dengan bayi kecilnya yang imut. Lantunan syair Aceh terngiang jelas di telinga, ia menidurkan sang anak dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. 

Aku kembali teringat ke luka itu. Beranjak setelah tertidur sopir mobil menghidupkan musik perjalanan dengan dentuman volume yang keras hingga membuat si bayi kembali terjaga dalam tidur nyamannya di dekapan ibu. Tidak mau menyerah si ibu juga turut berlomba dengan derasnya suara musik perjalanan itu. 

Ia masih berdaya untuk membuat si bayi kembali tertidur walau juga tergambar pada parasnya keringat-keringat kecil mulai bercucuran karena usahanya yang tidak menilai ukuran. Terlihat ia sangat siap dengan keadaan apapun itu demi kebaikan si bayi tercintanya.

Ternyata tidak mudah menjadi ibu, ia adalah pahlawan bagi setiap insan, menjadi penenang dikala bisingnya malam, hingga berpura-pura tidak luka walau dirinya tersiksa. Aku teringat akan semua itu biasanya pulangku demi ibu dan demi pelukan hangatnya yang serupa dengan bayi itu. 

Namun apa hendak di perbuat pelukan hangat hingga mencium pipinya sekarang adalah mimpi dan fatamorgana saja. Sia-sia tidak ada lagi semua yang kuharapkan itu, nyatanya pulangku tak lagi seindah dulu. Aku sadar akan semua itu namun tidak dengan rindu, ia terus saja datang dengan rasanya dan tak tau kapan dia akan pulang.

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain berdoa kepada Rabb di setiap sujudku, sudah sepatutnya tangisan demi tangisan ini untuk pergi dariku, percuma saja ada tangisan rindu yang terus membuat diri candu hingga terbelenggu akan rasa itu.

Sejatinya masih ada yang menanti ada ayah adik-adiku, nenek hingga saudara dekat lainnya. Namun masih saja kurang, ternyata benar keramaian tidak menjamin seseorang itu tenang. Tepat pada hari ini 29 Maret 2022 hari ke 20 setelah kepergian ibu aku hanya ingin bilang aku rindu dekapan dan pelukan hangatmu, aku rindu ibu.

Selaras dengan Ijun Pomade, “Andai Rindu nyoe jeut len tuleeh mungkin bak rata binteeh len tuleeh Poma” yang berarti : andai rindu ini dapat saya tulis mungkin di setiap dinding akan saya tulis Ibu.

0 komentar

Post a Comment